Disabilitas dan Kontestasi Politik 2018: Akses dan Regulasi dalam Mengakomodasi Penyandang Disabilitas atas Hak untuk Dipilih
Hak atas dipilih dan memilih merupakan sebuah terminologi yang menyatakan bahwa demokrasi hadir untuk semua golongan tanpa terkecuali penyandang disabilitas. Tahun 2018 seharusnya menjadi sebuah momentum dalam memperbaiki suatu realitas yang masih buram, terutama menyoal hak penyandang disabilitas untuk dipilih. Kekakuan politik juga masih menyelimuti bangsa ini yang terlalu dominan memandang politik sebagai sebuah keniscayaan yang tidak bisa diganggugugat, sekalipun menyoal identitas atau bahkan hal fisik.
Sebagai sebuah realitas tentu saja politik menjadi hal yang sangat menarik yang bahkan telah mengundang para pemikir-pemikir lama lebih dari 2500 tahun yang lalu untuk menelurkan teori-teori politik, sebut saja Aristoteles, Plato, Kant, Hegel, Hobbes, Locke dan bahkan sampai pada zaman Ir. Soekarno sekalipun.
Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada satu pun pengetahuan dan peradaban manusia yang tak tersentuh oleh gairah politik (Schmandt, 2002:3). Gairah politik inilah yang kemudian akan membawa dari mulai individu, golongan dan masyarakat kedalam sebuah percaturan atau kontestasi politik.
Secara sepintas kontestasi sering dipahami secara sederhana, akan tetapi makna kontestasi sendiri memiliki signifikansi yang luas dan kuat terhadap pergolakan politik. Kontestasi sendiri berasal dari bahasa inggris Contestation dan didalam KBBI sendiri mempunyai arti sebagai sistem dalam memperebutkan suara rakyat.
Tentunya kontestasi politik di negara ini tidak serta merta dapat dilepaskan begitu saja dari sebuah substansi yang bernama demokrasi. Sebagai negara demokrasi, Indonesia seharusnya identik dengan jaminan terhadap kebebasan atau hak-hak individu maupun kelompok selagi tidak menabrak prinsip demokrasi itu sendiri. Jaminan kebebasan sendiri meliputi jaminan untuk bersuara, beragama, bahkan berpolitik sekalipun. Tetapi kenyataannya kontestasi politik pun tidak selalu memberikan dampak positif bagi masyarakat, terutama bagi penyandang disabilitas.
Akses dalam berpolitik inilah yang menjadi permasalahan serius yang didera oleh penyandang disabilitas. Terbukti dalam latar belakang historis di Indonesia baik pemilihan kepala daerah atau bahkan pemilihan presiden, hanya satu orang yang mampu mendapatkan akses untuk terpilih menjadi seorang presiden, yaitu Gus Dur atau KH. Abdurrahman Wahid yang saat itu menyandang keterbatasan dalam penglihatan.
Hal ini membuktikan bahwa penyandang disabilitas kurang mendapatkan perhatian dan kepercayaan dari masyarakat akan kapabilitas yang dimilikinya. Hal itu kian terbebani dengan status quo sekarang dimana lembaga advokasi untuk hak-hak sipil dan politik penyandang, Pusat Pemilihan Umum Kases Penyandang Cacat (PPUA Penca) telah mendesak komisi pemilihan umum (KPU) untuk merivisi petunjuk teknisnya. Petunjuk teknis disini berupa SK KPU Nomor 231/PL.03.1-Kpt/06/PU/XII/2017 tentang petunjuk teknis standar kemampuan jasmani, rohani, serta standar pemeriksaan kesehatan jasmani, rohani dan bebas penyalahgunaan narkotika dalam pilkada (Suryowati, 2018).
Di dalam Petunjuk teknis itu sendiri disinyalir terdapat sebuah indikasi yang memberatkan penyandang disabilitas untuk ikut berpartisipasi dalam berpolitik, salah satunya adalah tes kesehatan fisik yang menjadi penentu kelolosan. Seharusnya disabilitas disini dimaknai sebagai sebuah keragaman yang perlu adanya akomodasi yang lebih dalam, terutama menyoal penyetaraan akses berpolitik bagi penyandang disabilitas demi menciptakan sebuah demokrasi yang utuh.
Menelisik Partisipasi Politik Kaum Disabilitas
Beragam survei telah dilakukan guna pendataan penyandang disabiltas. Bank Dunia dan International Labour Organization (ILO) yang menyatakan bahwa penyandang disabilitas berjumlah 15% dari populasi penduduk dunia . Di Indonesia, menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2012, populasi penyandang disabilitas adalah sebesar 6.515.500 jiwa dari 244.919.000 estimasi jumlah penduduk Indonesia tahun 2012. Jika dikonversikan dalam bentuk persen, maka persentase penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 2,45%.
Peningkatan dan penurunan persentase penyandang disabilitas hasil Susenas dipengaruhi adanya perubahan konsep dan definisi pada Susenas 2003 dan 2009 yang masih menggunakan konsep kecacatan, sedangkan Susenas 2006 dan 2012 telah memasukkan konsep disabilitas. Istilah disabilitas yang digunakan merujuk pada ketidakmampuan melaksanakan suatu aktivitas atau kegiatan tertentu sebagaimana layaknya orang normal yang disebabkan kondisi impairment yang berhubungan dengan usia dan masyarakat.
Data statistik menunjukkan bahwa jumlah penyandang disabilitas di Indonesia relatif besar dan perlu diperhatikan dalam hal pemenuhan hak politiknya. Basis massa penyandang disabilitas cukup potensial untuk dilibatkan dalam aktivitas politik elektoral. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa masih sedikit penyandang disabilitas yang berani untuk melibatkan dirinya dalam proses politik elektoral. Berkaca pada penyelanggaraan Pemilihan Legislatif (Pileg) tahun 2014 di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, hanya ada 1 dari sekian penyandang difabel yang berani mencalonkan diri menjadi anggota legislatif, yaitu Mujiono. Pada saat itu, Mujiono diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan daerah pemilihan (dapil) kecamatan Kebakkramat, Tasikmadu, dan Jaten. Mujiono bertekad untuk mewakili suara penyandang disabilitas dalam dunia politik.
Berdasarkan data diatas, Mujiono mendapatkah total suara 739 dan dinyatakan gagal menjadi anggota DPRD Kabupaten Karanganyar. Perolehan suara diatas juga cukup menggambarkan bahwa ilkim kontestasi politik yang terjadi antara Mujiono dengan caleg lain masih belum seimbang. Salah satu faktor yang berpengaruh adalah paradigma masyarakat terhadap kaum disabilitas yang seringkali diibaratkan sebagai ketidakmampuan seseorang secara medis, sehingga disabilitas dianggap sebagai orang sakit yang selalu membutuhkan pertolongan dan tidak dapat bekerja seperti manusia pada umumnya.
Lebih lanjut, dalam konteks pemilihan kepala daerah, regulasi yang ditetapkan KPU bahkan tidak mengakomodasi “hak dipilih” bagi penyandang disabilitas. Implikasinya, pada Pilkada Serentak 2018 tidak ada satupun koalisi atau partai yang mengusung penyandang disabilitas. Elektabilitas atau tingkat keterpilihan menjadi salah satu pertimbangan utama yang digunakan oleh partai politik untuk mendukung calon legislatif atau pasangan calon kepala daerah.
Secara tidak langsung, partai politik telah menganggap penyandang disabilitas memiliki potensi kemenangan yang rendah. Padahal pada hakikatnya, pemilu adalah saluran kontestasi politik yang inklusif, termasuk bagi penyandang disabilitas. Hingga saat ini hak dipilih bagi penyandang difabel kurang diperhatikan. Pemerintah hanya mengakomodasi kuota politik bagi perempuan, belum ada kebijakan politik affirmative bagi kaum difabel.
Mengevaluasi Substansi Undang-undang
Indonesia sebagai negara hukum, secara normatif mengakui dan mengupayakan pemenuhan terhadap hak asasi manusia sebagai hak dasar yang bersifat mutlak. Melalui upaya tersebut, pemerintah berusaha untuk menjamin kesetaraan, pemenuhan, dan jaminan perlindungan bagi para penyandang difabilitas untuk mengikuti kontestasi politik yang memberikan kesempatan bagi mereka atas hak untuk dipilih.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 telah mengamanatkan bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama baik dalam hukum maupun dalam pemerintahan. Namun, berdasarkan realitas dilapangan upaya atas perlindungan difabilitas melalui peraturan perundang-undangan tersebut hanya bersifat normatif.
Pemerintah pada pelaksanaanya, sering memunculkan tindakan diskriminatif bagi penyadang difabiltas. Oleh karena itu, dibutuhkan solusi yang tepat guna mengatasi permasalahan tersebut. Beberapa solusi yang dapat dilakukan diantaranya adalah:
- Evaluasi dan Analisis UU №8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
Secara umum, konsep disabilitas dimaknai sebagai “setiap orang yang mengalami hambatan fisik, intelektual, mental dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak”.
Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, pemerintah sejatinya telah berupaya dalam melindungi dan memfasilitasi penyandang difabilitas dalam aspek kesehatan, pendidikan, dan perlindungan. Berdasarkan realita di lapangan, kerangka hukum di Indonesia kurang memuat akan pemenuhan terhadap hak-hak penyandang difabilitas untuk dipilih guna mengemban jabatan publik. Meskipun sejauh ini pemerintah telah melakukan pengesahan terhadap Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (CPRD), namun sejatinya upaya tersebut masih sangat awal.
Kenyataannya, peraturan pemerintah justru seringkali terkesan tidak lengkap, ambigu dan terkesan diskriminatif, salah satu contohnya adalah terkait PP №9/2003 yang memberikan syarat bahwa para pejabat publik harus “sehat secara jasmani maupun rohani”, kalimat tersebut belum sepenuhnya dijelaskan namun secara garis besar mengarah pada arti “tidak memiliki disabilitas”. Selain kasus tersebut, terdapat kasus lain yang serupa yakni pada UU No.VIII/2012 tentang pemilihan umum yang juga menekankan bahwa calon legislatif dan calon presiden harus mampu “berbicara, membaca, dan menulis bahasa indonesia”, namun tidak menyebutkan apakah kemampuan membaca huruf braille dapat diterima sebagai calon kandidat yang berasal dari penyandang difabilitas.
Beberapa kasus tersebut merupakan gambaran akan kurangnya upaya yang pemerintah lakukan dalam memberikan pelayanan berbasis keadilan serta upaya untuk mengurangi tindakan diskriminatif pada penyandang difabilitas. Adapun solusi yang dapat dilakukan dalam mengatsi masalah tersebut adalah :
⦁ Memberikan jaminan bahwa penyandang difabilitas mendapatkan hak politiknya melalui pembuatan kebijakan affirmative.
⦁ Hak politik yang dilakukan tidak lagi hanya pada aspek intern, tetapi seharusnya sudah dalam aspek ekstern
⦁ Pemerintah tidak lagi hanya berfokus memberikan aksesbilitas pada aspek hak untuk memilih, namun juga berfokus pada hak untuk dipilih bagi penyandang difabilitas dalam Pemilihan Umum (Pemilu).
2. Evaluasi dan Analisis UU №7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Undang-undang yang terdiri dari 537 pasal, penjelasan, dan empat lampiran ini mengatur tentang pemilu serentak 2019. Dalam UU ini pula diatur tata cara pelaksanaan pemilu yang sesuai, kriteria pemilihan anggota kepala daerah/DPR/DPRD, ketentuan calon kepala daerah, serta penentuan ambang batas pemilihan. Namun sayangnya, terdapat beberapa penjelasan yang kurang representatif terhadap esensi yang dimaksudkan, yakni munculnya ambiguitas syarat sehat atau mampu secara jasmani dan rohani.
Pada pasal 6 ayat (1) UUD NRI 1945 dijelaskan bahwa untuk menjadi bakal calon Presiden dan Wakil Presiden salah satu persyaratan yang perlu untuk dipenuhi adalah “mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presien”. Ketentuan dari adanya pasal tersebut dapat menutup peluang bagi penyandang difabilitas untuk mencalonkan diri pada Pemilu, hal ini dikarenakan adanya penggunaan titik tekan persyaratan pada kondisi “sehat jasmani dan rohani”. Selain itu, pasal ini pula melimitasi kata “mampu” yang kemudian memunculkan penafsiran yang berbeda antar satu sama lainnya.
Kesimpulan
Pada dasarnya penyandang disabilitas merupakan warga negara yang memiliki kesamaan hak dengan warga lainnya, termasuk dalam hal berpolitik. Pembahasan disabilitas menjadi semakin kompleks karena mengandung problema yang sudah seharusnya dikenali, diakui sepenuhnya atau direvisi secara substantif menjadi regulasi yang akomodatif dalam melindungi hak-hak penyandang disabilitas. Tetapi pada kenyataannya regulasi justru tidak berpihak pada penyandang disabilitas.
Hal ini bisa ditelisik melalui PP №9/2003 yang memberikan syarat bahwa para pejabat publik harus “sehat secara jasmani maupun rohani. Lebih lanjut, UU No.VIII/2012 tentang pemilihan umum yang juga menekankan bahwa calon legislatif dan calon presiden harus mampu “berbicara, membaca, dan menulis bahasa indonesia” namun tidak menyebutkan kemampuan membaca huruf braille yang berasal dari penyandang difabilitas.
Implikasinya, penyandang disabilitas cenderung takut untuk berkontestasi dalam pemilihan umum, baik skala nasional maupun daerah. Berdasarkan catatan sejarah, hanya satu orang yang mampu mendapatkan akses untuk terpilih menjadi seorang presiden, yaitu KH. Abdurrahman Wahid.
Sementara di level daerah, pemilihan Legislatif (Pileg) tahun 2014 di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, hanya ada 1 dari sekian penyandang difabel yang berani mencalonkan diri menjadi anggota legislatif, yaitu Mujiono. Namun Mujiono tidak berhasil menduduki kursi legislatif karena kalah perolehan suara dengan calon lainnya. Bahkan, dalam konteks Pilkada Serentak 2018, SK KPU Nomor 231/PL.03.1-Kpt/06/PU/XII/2017 secara implisit tidak memperbolehkan penyandang disabilitas maju dalam Pilkada.
Hal ini membuktikan bahwa penyandang disabilitas kurang mendapatkan perhatian yang substansial dalam regulasi, serta kepercayaan dari masyarakat terkait kapabilitas yang dimilikinya.
Berbagai peristiwa yang terjadi seharusnya membuat kita sadar akan pentingnya mengubah cara pandang mengenai “disabilitas” menjadi lebih humanis karena pada dasarnya penyandang disabilitas merupakan bagian dari warga negara yang memiliki akses politik yang sama. Pemerintah perlu menyusun kebijakan politik yang bersifat affirmative bagi penyandang disabilitas. Selain itu, pemerintah perlu memperinci regulasi pemilihan umum yang mampu mewakili hak-hak penyandang disabilitas.
Sehingga, regulasi yang ada secara substansial mengakui keberadaan dan eksistensi penyandang disabilitas. Di lain sisi, masyarakat perlu merekonstruksi paradigma yang selama ini selalu mengonotasikan penyandang disabilitas dengan ketidak mampuan seseorang secara medis, sehingga disabilitas dianggap sebagai orang yang tidak dapat bekerja seperti manusia pada umumnya. Memanusiakan penyandang disabilitas sejak dalam pikiran, adalah hal yang harus dilakukan setiap warga Indonesia guna merawat esensi kesederajatan agar terus bermakna.