“As Sartre later puts it in Existentialism is a Humanism, to be human is characterised by an existence that precedes its essence. As such, existence is problematic, and it is towards the development of a full existentialist theory of what it is to be human that Sartre’s work logically evolves.”
Eksistensialisme muncul berawal dari Kieggard dan Nietzche dalam opininya yaitu bagaimana menjadi sosok manusia individual serta bagaimana caranya menjadi manusia unggul dalam bukunya sabda zarachustra. Nietzche juga menambahkan bahwa menjadi manusia unggul butuh keberanian untuk merealisasikan dirinya sendiri secara berani dan jujur serta lepas dari kungkungan agama, tak khayal dia juga melontarkan kalimat yang kita kenal dengan karakteristiknya sebagai eksistensialis yang menyebutkan bahwa tuhan telah mati. Aliran eksistensialisme ini juga merupakan aliran filsafat yang mendeskripsikan tentang eksistensi dan pengalaman manusia itu sendiri juga sebagai bentuk perlawanan terhadap aliran materialisme dan idealisme.
“Human reality is free, basically and completely free.”
Tidak jauh beda dengan klaim Kieggard maupun Nietzche, Jean-Paul Sartre sebagai filsuf eksistensialis yang lahir pada abad ke-20 juga memperbaharui definisi-definisi mengenai eksistensialisme dalam diri manusia itu sendiri. Menurut Sartre kedudukan dan kenyataan manusia itu berbeda dengan kedudukan suatu benda, maksutnya adalah manusia memiliki martabat yang luhur ketimbang benda-benda. Tak khayal manusia memiliki kehendak atau kebebasan dalam menentukan hidupnya, tetapi kehendak ini tidak serta merta dimiliki manusia dalam arti seutuhnya.
Kebebasan manusia disini yang dimaksud Sartre adalah manusia memiliki kebebasan dan kehendak secara total, ia adalah suatu kodrat yang menyempurnakan dirinya sendiri seiring berjalannya waktu dan keberpindahannya terhadap ruang satu ke ruang lain. Itu berarti bahwa manusia disini memiliki kehendak bebas dimana ia sebagai penggerak dirinya sendiri menuju ke masa depan dan gerakan itu tentu disadarinya. Gerakan ke depan ini juga membuka kemungkinan dan peluang manusia untuk mencapai keinginannya dengan caranya sendiri serta terlepas dari ikatan-ikatan tertentu dan inilah yang dimaksud Sartre esensi manusia itu sendiri.
“Manusia adalah kebebasan yang memilih dan memutuskan.” Jean-Paul Sartre
Hak manusia dalam memilih dan memutuskan merupakan suatu hal yang mutlak absolute karena dari sinilah yang menjadi prasyarat pembangunan dan pengembangan potensi manusia. Kebebasan sendiri juga nampak dalam kenyataan bahwa manusia bukan dirinya sendiri, melainkan selalu berada dalam situasi menjadi diri sendiri. Dalam situasi ini manusia dituntut untuk bergerak dan selalu berusaha serta tidak berhenti dalam pencarian jati dirinya sendiri, usaha ini disertai keputusan-keputuan yang dibuatnya sendiri dan bertindak seorang diri tanpa intervensi dari pihak luar. Dalam putusannya juga manusia tidak mempunyai bukti bahwa hal itu benar melainkan ia sajalah yang menjamin jikalau putusan itu memang benar. Dalam pencarian jati diri manusia, Sartre menganggap bahwa manusia harus memilih, mengambil keputusan, walaupun tanpa keputusan yang otoritatif, manusia harus memilih. Karena dalam pengambilan keputusan ini kehendak manusia pun berhubungan dengan esensinya yang ia ciptakan sendiri. Jika memang benar eksistensi itu mendahului esensi, manusia juga harus bertanggung jawab pada kehidupan yang diembannya baik kehidupannya maupun kehidupan makhluk lain. Dalam hal ini filsafat eksistensialisme memiliki fungsi yaitu menempatkan manusia pada posisinya sebagai diri sendiri dan meletakkan seluruh tanggung jawab hidupnya di pundak manusia itu sendiri, inilah yang disebut Sartre sebagai subyektivitas.