Idetifikasi Pembangunan Pabrik Semen Kendeng dan Kontestasi Politik dalam Mengakomodasi Kebutuhan Kelompok Minoritas Studi pada Kelompok ‘Sedulur Sikep’
Keberadaan kelompok minoritas hampir dipastikan tidak akan pernah melampaui eksistensi kelompok mayoritas di setiap negara di belahan dunia, tidak terkecuali Indonesia. Ada ribuan bahkan jutaan kelompok kecil yang tidak terekspos oleh media yang bermukim di Indonesia. Namun keberadaannya, kebutuhannya atas hak-hak mereka sering kali diindahkan oleh pemerintah. Meski hak-hak mereka telah dilindungi oleh Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik pasal 27, dan oleh Deklarasi PBB tahun 1992 mengenai Hak-hak kelompok agama, etnis serta pengguna Bahasa minoritas, namun kedua instrumen hukum belum cukup memadai untuk melindungi dan memenuhi hak mereka.
Akan tetapi eksistensi kelompok minoritas selalu dibatasi oleh tekanan-tekanan yang bersifat politik. Di sisi lain Indonesia sebagai negara demokrasi dengan simbol Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tapi tetap satu, masih belum mampu mengakomodasi kelompok-kelompok minoritas dengan baik. Sebagai negara yang plural seharusnya Indonesia mampu menunjukkan keberagamannya di mata dunia, bahwa keberagaman adalah semacam trigger sebagai alat pemersatu bangsa tanpa adanya intervensi, serta kepentingan dari kelompok tertentu.
Masyarakat Sedulur Sikep
Masyarakat Sedulur Sikep hidup disepanjang Pegunungan Karst Kendeng, Pati, Jawa Tengah dan belakangan ini turut aktif dalam menolak kehadiran pabrik semen. Jika ditelusuri lebih lanjut, kondisi mereka sebenarnya memiliki letak kewilayahan yang mudah terjangkau tetapi dengan alasan ingin menjaga adat-istiadatnya serta mengalami kekecewaan terhadap pemerintah maka warga memutuskan untuk tidak berinteraksi banyak dengan masyarakat luar. (Sugiyanto, 2008 :62). Selain faktor tersebut, terdapat pula dugaan bahwa pemerintah juga enggan untuk menjadikan mereka sebagai salah satu objek sasaran pembangunan.
Sedulur Sikep dianggap sebagai masyarakat adat terpencil yang menurut Keputusan Presiden №111 Tahun 1999 adalah masyarakat dengan kelompok sosial budaya yang bersifat lokal, relatif kecil, tertutup, tertinggal, homogen, terpencar dan berpindah-pindah ataupun menetap, kehidupannya masih berpegang teguh pada adat-istiadat, pada kondisi geografis sulit dijangkau, penghidupannya tergantung pada sumber daya alam setempat, dengan teknologi yang masih sederhana (Sugiyanto, 2008 :64)
Sedulur Sikep memiliki kehidupan yang berbeda jika ditinjau dari beberapa aspek, salah satunya mengenai kepercayaan. Bagi mereka kepercayaan adalah suatu perjalanan hidup yang harus dilalui, perbuatan atau pekertinya. Sedulur sikep meyakini akan adanya hukum alam atau hukum karma (becik ketitik, ala ketara) (Suyami, 2007 dalam Hendrastomo, Tanpa Tahun : 5). Sedulur sikep mengakui bahwa ajarannya telah mengalami asimilasi dengan Islam, serta mereka tidak mau jika ajarannya dinggap turunan dari Hindu maupun Budha ( Jannah, Tanpa Tahun : 87 dalam Sunadi, 2013 : 11)
Perbedaan mereka dengan kelompok lain yaitu mengenai tingkat kepercayaan mereka terhadap pemerintah. Dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan pemerintahan, mereka ‘Sedulur Sikep’ melimpahkan permasalahan tersebut kepada pemerintahan desa terlebih dahulu sebagai pihak yang proaktif dan dianggap sebagai saudara dekat.
Begitu pula mengenai adat perkawinan, ‘Sedulur Sikep’ tidak mengenal prosedur pencatatan sipil sehingga hal tersebut dianggap cukup merisaukan tentang bagaimana pengurusan akta kelahiran untuk anak keturunan mereka serta urusan lain mengenai administrasi yang berhubungan dengan kependudukan atau kewarganegaraan (Hendrastomo, Tanpa Tahun : 5).
Sebagai kelompok minoritas seharusnya pemerintah memiliki kewajiban untuk menjaga dan merawat keragaman serta identitasnya. Kebijakan pemerintah terhadap kelompok minoritas seperti ‘Sedulur Sikep’ yang memiliki peranan berupa penguatan identitas melalui kepercayaan yang berfungsi sebagai perekat sosial atau legimitasi sosial (Sunadi, 2013 : 82). Kebijakan kesetaraan antara kelompok mayoritas maupun minoritas oleh pemerintah kemudian dapat dirujuk melalui perspektif HAM maupun perlindungan hukum yang ada di Indonesia.
Menilik fakta akan keberadaan ‘Sedulur Sikep’ sebagai salah satu dari kelompok minoritas dalam hal kepercayaan semakin mengundang kekhawatiran masyarakat luas. Di Indonesia, diketahui bahwa pelanggaran atau diskriminasi terhadap kelompok minoritas tampak makin meningkat, terutama terhadap kelompok minoritas agama. Selain sedikit fakta yang dipaparkan di atas, Setara Institute sebagaimana disitir oleh Human Rights Watch dalam laporannya, terdapat 216 kasus serangan terhadap minoritas agama pada 2010, 244 kasus pada 2011 dan 264 kasus pada 2012. (Fadhli, 2014 : 357).
Masyarakat mengalami diskriminasi kebijakan oleh negara salah satunya dalam hak sipil politik. Mereka ditolak dalam mengajukan akta perkawinan karena dianggap tak beragama apabila hanya memiliki keyakinan lokal seperti agama Adam. Keberagaman Indonesia yang memiliki ciri khas berupa kelompok masyarakat lokal salah satunya ‘Sedulur Sikep’ oleh karena kebijakan seperti ini tentunya akan terancam keberadaannya.
Kesimpulan
Masyarakat minoritas diyakini sedang mengalami rasa tidak aman serta dihantui berbagai macam ancaman dan penindasan lainnya. Permasalahan tersebut antara lain berujung pada pembangunan Pabrik Semen Kendeng yang semakin membuat keraguan mengenai pelaksanaan prinsip kesetaraan yang tidak dilakukan pemerintah melalui kebijakannya. Sedulur Sikep bersikeras untuk mempertahankan tanahnya untuk nafkah kehidupan sehari-hari selagi masih bisa bertani, bertani adalah aktivitas yang memerlukan tanah jika tidak ada tanah tentu tidak akan pernah ada tani sedangkan pihak perusahaan semen yaitu berkeinginan mendirikan pabrik Pegunungan Karst Kendeng untuk memperluas dan memperbesar produksi semen. Melalui dua kepentingan yang berseberangan tersebut, kebijakan pemerintah seharusnya dapat memberikan rasa aman terhadap kaum minoritas terutama terhadap ‘Sedulur Sikep’ sebagai salah satu komitmen yang pemerintah gaungkan selama ini.
Penjelasan-penjelasan diatas memberikan gambaran bahwa pemerintah masih belum mampu dalam menjangkau akses-akses yang dapat mengakomodasi Sadulur Sikep. Pemerintah lalai untuk menerapkan kesetaraan dalam keberagaman suku, ras, hingga kepercayaan terutama dalam kebijakan hak-hak sipil politik yang tidak banyak dipertimbangkan dalam pemenuhannya ataupun dalam pengambilan kebijakan terkait pendirian pabrik semen. Apabila pemerintah ingin dapat memahami akses untuk mengakomodasi Sadulur Sikep dapat dimulai dengan pemenuhan hak-hak sipil politik yang dapat membuat rasa kepercayaan ‘Sedulur Sikep’ terhadap pemerintah meningkat dan membuktikan kesetaraan kebijakan pemerintah bukan hanya omong kosong belaka.