Kompetensi Pendidikan Nasional : Peneliti, Penelitian dan Publikasi dalam Menguatkan Modal Sosial

Wafi Faiz
12 min readDec 8, 2020

--

Pada tahun 2019 kita dihadapkan dengan sebuah hajatan besar setiap lima tahun sekali di negeri ini yaitu, pemilihan umum untuk memilih Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat serta Dewan Perwakilan Daerah. Seperti halnya yang terjadi sebelumnya bahwa setiap pemilihan umum diselenggarakan, bisa diprediksi ada potensi konflik yang terjadi di dalam kontestasi tersebut. Pada awal tahun 2019 sendiri sampai bulan ini telah terhitung banyaknya kampanye yang digencarkan oleh masing-masing calon baik kampanye positif maupun negatif.

Dalam aspek kampanye negatif inilah yang kemudian secara implisit juga menguji sejauh mana pengetahuan masyarakat dalam memandang realita, karena banyaknya isu hoax yang bertebaran dimana-mana. Kompleksitas permasalahan yang terjadi didalam kontestasi pemilu kemudian membuat masyarakat terpecah kedalam dua posisi biner yaitu kubu Pro Jokowi dan Pro Prabowo.

Tidak banyak masyarakat yang berdiri ditengah dua posisi yang berbeda itu serta meresponnya dengan sikap yang aktif. Masyarakat cenderung bingung bagaimana merespon setumpuk masalah yang lahir dari klaim-klaim yang salah satunya terkait penyebaran hoax jika masyarakat tidak memiliki referensi yang mampu mematahkan klaim dari keduanya. Bukan hanya permasalahan klaim-klaim dan hoax yang timbul dari sengkarut pemilihan umum, menurut catatan (Tempo, 2019) setidaknya ada empat masalah yang masih melilit partai politik dalam pelaksanaan pemilihan umum yang sebenarnya memiliki kewenangan dalam mengusung calon presiden dan wakil presiden yaitu; sistem informasi partai politik yang kurang memadai, dugaan manipulasi data pada saat verifikasi oleh partai politik, verifikasi faktual yang dianggap merugikan partai baru serta pengkaderan antikorupsi yang masih sangat lemah.

Permasalahan tersebut dianggap merugikan masyarakat sebagai subjek sekaligus objek dalam pemilihan umum karena itu akan berimbas kepada nasib masyarakat selanjutnya terkait kesejahteraan, pendidikan, kesehatan hingga aspirasi masyarakat. Dan salah satu cara yang dapat meminimalisir permasalahan tersebut untuk tidak terjadi lagi kedepannya adalah dengan menguatkan fungsi literasi melalui penelitian dan publikasi. Literasi begitu penting diterima oleh masyarakat karena itu akan menguatkan modal sosial yang telah kita miliki sebelumnya.

Modal sosial ini berupa pikiran, budaya dan tradisi yang tidak bisa dimanipulasi oleh aktor-aktor tertentu. Modal sosial juga berfungsi dalam mengintegrasikan seluruh elemen masyarakat dalam menghindari potensi konflik yang terjadi. Lalu bagaimana penelitian dan publikasi mampu membangun budaya literasi sebagai modal sosial ini? Setidaknya pertanyaan inilah yang akan dijawab oleh penulis melalui reformasi lembaga penelitian serta penggalakan penelitian dan publikasi di ranah pendidikan tinggi.

Tidak hanya sampai disitu, melalui peran pengajar dan mahasiswa dalam institusi pendidikan tinggi juga diharapkan mampu untuk menjembatani antara kepentingan rakyat dan kondisi sosial yang ada dalam menguatkan modal sosial yang telah dimiliki oleh Masyarakat Indonesia melalui kebudayaan dan tradisi dalam menjaga semangat persatuan. Penelitian dan publikasi juga mampu menjadi semacam justifikasi secara ilmiah untuk menunjukkan permasalahan apa yang terjadi serta kebutuhan seperti apa yang diinginkan oleh masyarakat yang nantinya bakal menjadi rekomendasi kepada pemerintah untuk mewujudkan sustainabilitas nasional.

Makna Pendidikan dan Literasi bagi Indonesia

Pendidikan memiliki arti yang sangat luas bukan hanya menjadi jembatan untuk mengantarkan sebuah bangsa hidup dalam kemakmuran, lebih dari itu pendidikan juga dapat membuat bangsa memiliki peradaban yang unggul dan bermoral dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain, dengan catatan pendidikan harus memiliki ruh yang kemudian bisa melebur menjadi satu dengan kebudayaan dan karakteristik masyarakatnya. Setidaknya semboyan inilah yang seharusnya menjadi pemacu semangat bangsa ini untuk terus mencari akar permasalahan pendidikan yang terjadi pada era millenial.

Permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam pendidikan bukan hanya sebatas permasalahan kecil yang bisa diselesaikan langsung, setidaknya jaringan pemantau pendidikan Indonesia atau JPPI (Tempo, 2017) mencatat ada tujuh permasalahan krusial yang harus diselesaikan yaitu; program wajib belajar 12 tahun yang mandek, kenaikan angka putus sekolah, pendidikan agama yang perlu dibenahi karena kekhawatiran siswa dan mahasiswa akan intoleransi yang semakin menguat, legitimasi terhadap pendidikan non formal seperti pesantren dan madrasah diniyah yang masih dipersimpangan jalan, pendistribusian Kartu Indonesia Pintar yang belum maksimal, serta pendidikan inklusif bagi kelompok difabel.

Selain itu (Tirto, 2017) juga menambahkan bahwa permasalahan pendidikan di Indonesia bukan hanya terletak pada sistem dan kebijakan yang diterapkan, tetapi juga menyoal tradisi literasi bangsa ini yang mengalami kemunduran. Literasi juga menjadi hal yang krusial, karena dari literasi inilah kemudian bangsa-bangsa seperti Yunani, Babelonia, Alexandria mengalami puncak kejayaannya dengan melahirkan tokoh-tokoh seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, hinga Alexander yang Agung. Dalam melihat tradisi literasi secara langsung terutama yang menyangkut permasalahan pendidikan di negara ini pun tidak seperti apa yang diharapkan, sehingga permasalahan ini terus bergulir dan kemudian merembet ke isu-isu sentral lainnya yang lumrah terjadi pada negara-negara berkembang seperti; kemiskinan, pengangguran, kelaparan, hingga ketimpangan sosial. Padahal ketika kita mampu melihat historisisme bangsa ini, kita bisa menemukan bahwa sebenarnya bangsa ini lahir dari tradisi literasi yang sangat kuat.

Dimana tradisi ini sudah terlacak dari bukti-bukti yang ditunjukkan oleh founding fathers kita terdahulu. Seperti pada zaman kerajaan Hindu, Budha, hingga Islam yang kemudian melahirkan karya-karya pada peradabannya masing-masing. Kita pasti akan mengenal nama-nama kerajaan terdahulu seperti Kutai Kertanegara, Sriwijaya, Majapahit hingga Demak, dimana tradisi literasi ini mampu melahirkan nama-nama seperti: Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang menulis kitab Bharatayuda dan Gatotkacasraya, Mpu Darmaja yang membuat karya Smaradhana, Sunan Kalijaga dengan kesenian Wayang Kulitnya dan Negarakertagama yaitu karya popular dari Mpu Prapanca yang menjadi basis rujukan hukum konstitusional Negara Indonesia.

Seiring berjalannya waktu, sejarah literasi dan pendidikan semakin berkembang dengan datangnya bangsa barat ke wilayah nusantara. Akibat banyaknya orang barat yang kemudian menduduki wilayah ini maka dominasi mereka pun tidak terelakkan lagi. Dengan adanya sekolah-sekolah seperti; Eurospeesch Lagere School, Hollandsch Inlandsche School, Hollandsch Chineesche School (Kompas, 2018) dan lain sebagainya yang menggunakan bahasa asing di dalam kelasnya. Maka tidak heran lagi bagi bangsa ini, ketika masyarakatnya memiliki keahlian dalam berbahasa asing baik bahasa Belanda maupun bahasa Inggris. Meskipun sistem pendidikan ini cenderung memiliki sifat yang elitis dan dipandang oleh masyarakat pribumi sebagai sekat pembeda yang kemudian melahirkan struktur kelas masyarakat yang berbeda pula.

Sementara itu tidak kalah dengan sekolah-sekolah barat yang dominan menggunakan bahasa asing dan literasi gaya barat, masyarakat lokal pun kemudian menginisiasi adanya sekolah non formal sebagai anti-thesis dari sekolah bangsa barat, dimana munculnya sekolah ini lebih cenderung berbasiskan agama dan memiliki rujukan-rujukan literasi bangsa timur. Pada masyarakat jawa sekolah ini pun dikenal dengan nama Pondok Pesantren, seperti; Pondok Pesantren Syaichona Cholil Bangkalan Madura (1861 M), Pondok Pesantren Langitan Tuban Jawa Timur (1852 M), serta Pondok Pesantren Al Kahfi Somalangu, Kebumen, Jawa Tengah yang didirikan oleh Syekh As Sayid Abdul Kahfi Al Hasani (ulama besar dari Hadramaut, Yaman) pada 4 Januari (1475 M) dan masih banyak Pondok Pesantren lainnya yang terbentang di seluruh wilayah Indonesia. Pada waktu itu Pondok Pesantren sangatlah popular dalam kehidupan masyarakat kita, selain sebagai basis pendidikan agama dan pengkajian terhadap literasi timur, Pondok Pesantren juga berperan dalam mengumpulkan masyarakat dan mengkonsolidasikannya sebagai alat perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme. Konsolidasi ini begitu kuat karena dipimpin oleh seorang Kyai yang kemudian dalam hierarki masyarakat kita dianggap sebagai seseorang yang menjadi panutan karena memiliki sifat yang arif dan bijaksana, sehingga apa yang menjadi perkataannya adalah suatu kebenaran yang harus dilakukan.

Arah Baru Pendidikan Pasca Kemerdekaan

Setelah melewati masa sejarah yang panjang dari mulai zaman pra sejarah dilanjutkan dengan adanya kerajaan-kerajaan serta datangnya kolonialisme dan imperialisme dari bangsa barat, kita bisa melihat bahwa bangsa ini pun dibangun diatas literasi pendidikan yang kaya. Dan membuat bangsa ini melahirkan tokoh-tokoh penting zaman kemerdekaan seperti; Ir. Soekarno, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Ays’ari, Dr. Soepomo, Muhammad Yamin yang bahu membahu dalam proses dekolonialisasi sebagai bentuk perjuangan kemerdekaan dengan kontribusi besarnya dalam melahirkan dasar ideologi bangsa yang berupa Pancasila.

Setelah memasuki fase kemerdekaan, banyak para pemikir dan intelektual muda bangsa ini menyarankan bahwa kita harus mampu menghadirkan pendidikan yang terintegrasi. Pada awal masa kemerdekaan sendiri, bangsa ini kemudian menyusun metode pendidikan melalui pemerintah dengan basis pendidikan dalam semangat patriotisme demi menjaga keutuhan serta menanamkan nilai-nilai patriotism kepada masyarakat untuk menghindari kembalinya kolonialisme ke tanah ini.

Tujuan pendidikan pada masa ini dirumuskan untuk membentuk masyarakat yang sejati dalam artian rela menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara dan masyarakat. Karakteristik pendidikan ini memiliki landasan Pancasila sebagai falsafah negara, dimana pancasila diletakkan pada tiap-tiap sendi mata pelajaran (Somarsono Moestoko, 1986: 145). Pengaruh yang kuat dari pancasila inilah yang kemudian memompa semangat dari masyarakat dan pemerintah untuk terus bersinergi, yang mana masyarakat menjadi benteng dalam mempertahankan negara sedangkan pemerintah memiliki tugas untuk membentuk struktur badan yang menangani sistem pendidikan dengan tujuan menyusun kurikulum, termasuk membagi pendidikan menjadi empat tingkatan yaitu: pendidikan rendah, pendidikan menengah pertama, pendidikan menegah atas, dan pendidikan tinggi atau perguruan tinggi. Dan konsep ini kemudian berlajut hingga sekarang, sehingga empat tingkatan pendidikan diatas seharusnya mampu membangun peradaban yang maju.

Dalam perjalanannya termasuk tren atau pola pendidikan yang juga dimunculkan pemerintah baik masa kemerdekaan atau orde lama, orde baru, reformasi, dan pasca reformasi. Secara garis besar zaman-zaman tersebut melahirkan metode dan karakteristik pendidikan yang berbeda-beda tapi dengan sistem yang hampir sama, alasan munculnya perubahan ini karena untuk menyesuaikan dengan keadaan zaman yang semakin berkembang. Tetapi apakah perubahan metode pengajaran akan menjamin adanya kemajuan peradaban melalui pendidikan? Memang kemudian pendidikan di bangsa ini telah melewati masa yang panjang, tetapi kita juga harus mengingat bahwa masalah tidak akan pernah hilang dalam perkembangan dunia dan peradaban jika pendidikan tidak diperhatikan. Oleh karena itu juga dibutuhkan dengan metode yang tepat untuk merumuskan konsep yang kemudian menjadi pegangan dalam membangun peradaban yang termanifestasikan dari pengaruh dunia pendidikan.

Pengaruh dunia pendidikan ini yang kemudian harus diamati betul oleh pemerintah dari mulai pendidikan pra sekolah dasar hingga perguruan tinggi demi menciptakan pendidikan yang harmonis, termasuk menggalakkan karakter pendidikan dalam menyemai bangsa. Karakter inilah yang kemudian berhubungan dengan literasi yang menjadi bagian penting dalam membangun kepekaan sosial termasuk kemampuan beradaptasi dengan kondisi lingkungan serta perkembangan zaman yang ada. Berbeda dengan zaman dahulu, bangsa ini justru kian terpuruk dalam ranah literasi, ini ditunjukkan dengan posisi Indonesia yang dibawah negara-negara lainnya seperti Amerika, Australia, China, Prancis, Jepang dan bahkan negara Asia Tenggara sekalipun.

Sebenarnya ini merujuk pada sebuah sistem dan kebiasaan yang digalakkan dalam lingkup masyarakat, terbukti karena lemahnya literasi Indonesia pun memiliki rasio perbandingan yang cukup rendah, dari data Unesco minat baca masyarakat Indonesia berada pada angka 0,001 atau 1 banding 1000 orang, sedangkan data World’s Most Literate Nations tahun 2016, menunjukkan bahwa daya literasi Indonesia menempati posisi 60 dari 61 negara, yaitu satu tingkat di atas Bostwana. (Republika, 2017). Sementara itu mengutip dari laman (Tirto.id, 2017) ada aspek yang tidak kalah penting bagaimana pendidikan di Indonesia masih terhambat selain pada aspek literasi, khususnya dalam ranah perguruan tinggi, bagaimana sepanjang tahun 1996–2016 jumlah publikasi terindeks Indonesia mencapai 54.146, meskipun cukup tinggi namun bila dibandingkan dengan Singapura, Thailand, dan Malaysia peringkat Indonesia masih jauh berada dibawah ketiga negara tersebut. Dalam tingkat dunia sendiri berdasarkan data SCImago Indonesia menempati peringkat 45 dan di Asia mendapat urutan 11, serta barisan ke 4 di Asia tenggara. Sangat ironis sebenarnya ketika melihat ribuan budaya, sumber daya alam, tradisi, kepercayaan, yang dimiliki oleh bangsa ini kurang dimanfaatkan atau digali lebih dalam untuk dijadikan objek penelitian, dan inilah yang menyebabkan bangsa ini masih tertinggal dari negara lainnya.

Peneliti, penelitian dan Publikasi

Mengutip Francis Fukuyama dalam bukunya The Great Disruption: Human Nature and The Reconstitution of Social Order (2000:3) menyebutkan bahwa lebih dari setengah abad yang lalu Amerika Serikat dan Negara-negara ekonomi lainnya menyebutkan bahwa peradaban dunia telah bergeser kedalam sebuah masyarakat informasi atau information society yang kemudian ditandai dengan adanya produksi masal terkait media informasi melalui radio, televisi, fax dan e-mail yang membuat masyarakat semakin mudah untuk mengakses informasi. Informasi menjadi hal yang sangat penting bukan hanya untuk masyarakat tapi juga untuk negara dalam meningkatkan kesejahteraan melalui kebijakan-kebijakan ekonomi, sosial-politik, hingga pendidikan.

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa informasi kemudian merubah situasi zaman secara drastis, salah satunya ditandai dengan mencuatnya motivasi manusia untuk terus mengeksplorasi dan mengembangkan teknologi sampai kadar yang tidak ada batasnya. Sementara itu Siswoyo (2018:1), menyebutkan bahwa pola kehidupan secara global mengalami perubahan dalam waktu yang cukup singkat yaitu berkisar 30 tahun terakhir.

Hal ini disebabkan oleh adanya a new wave of disruption atau yang disebut dengan gelombang besar yang melanda dunia yang lebih dikenal dengan Revolusi Industri 4.0 atau Revolusi Digital. Gelombang besar ini yang kemudian menghantam negara-negara yang tidak siap akan perkembangan informasi, sehingga negara tersebut kemungkinan besar dapat terhempas dan terancam mengalami kemunduran terutama bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Untuk menghindari hal tersebut, ada beberapa upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah, salah satunya adalah dengan membentuk masyarakat terpelajar atau learning society.

Konsep inilah yang kemudian menjadi semacam pondasi bagi negara-negara berkembang termasuk pemerintah indonesia serta masyarakat untuk beradaptasi dengan kemajuan teknologi, informasi dan geografi politik yang ada, terutama dalam mencari terobosan-terobosan yang memiliki harmonisasi dengan karakteristik masyarakatnya.

Dalam membentuk learning society tidaklah mudah, harus ada langkah-langkah yang menjadi rujukan seperti; pembangunan infrastruktur, penyediaan sarana dan prasarana, pembenahan metode pendidikan, dan yang tidak kalah penting adalah menggalakkan penelitian dan publikasi ilmiah. Selain menjadi sebuah modal sosial, Penelitian dan publikasi ilmiah begitu penting bagi setiap negara di dunia, karena negara-negara tersebut harus memiliki data yang dihimpun dari penelitian kemudian dipublikasikan bukan hanya untuk mengetahui transparansi kebijakan dan kebijakan apa yang akan dibuat oleh pemerintah kedepannya menyangkut kepentingan masyarakat secara umum tapi juga untuk menghimpun kegiatan-kegiatan ilmiah.

Bahkan bukan hanya bentuk publikasi Indonesia yang kalah dengan Malaysia, Singapura dan Thailand, tapi juga mentalitas ilmuwan, peneliti dan akademisi yang perlu diperbaiki. Ini kemudian bersumber dari teks pidato pengukuhan guru besar, Prof. Heru Nugraha (2012:13) yang menyebutkan masih banyaknya ilmuwan di Indonesia yang kurang begitu militan dalam melakukan penelitian-penelitian lapangan, akibatnya hasil dari penelitian itu sebagian besar masih merujuk pada karya-karya James Scott, John Vemberton, Gerry Van Klinken, Robert Hefner, Paul Stange dan para pemikir lainnya dibanding dengan memulai menciptakan teori-teori baru yang dibangun diatas tanah leluhurnya.

Sifat militansi yang dimaksud adalah seorang peneliti harus merasa betah, nyaman, dan sukarela dalam melakukan penelitian dengan mengimplementasikan metode yang cocok, teori yang pas, serta kemampuan kontemplatif untuk membantu dalam beradaptasi dengan objek penelitian itu sendiri (Heru Nugraha, 2005).

Selain itu, Prof.. Al Makin dalam pidato pengukuhan Guru Besar bidang Filsafat (2018) juga menyampaikan bahwa para ilmuwan, peneliti, dan akademisi di Indonesia mengalami tantangan yang kompleks. Tantangan itu berupa kajian penelitian yang perlu diperdalam dengan metode dan teori terkini, dan keberubahan media publikasi yang bersifat digital pun mempengaruhi alur baru dunia pendidikan. Bagaimana metode pendidikan juga harus menyesuaikan perkembangan digital, seperti; Khan Academy, Academia.edu, serta website-website lainnya yang memiliki sayap dan materi yang luas dalam media digital ditambah lagi akses gratis kapan saja dan dimana saja dari beberapa platform.

Konsep-konsep seperti inilah yang diharapkan dapat membantu masyarakat Indonesia terutama kelas menengah kebawah untuk terus mendapatkan bahan-bahan pendidikan yang cukup. Sehingga ketimpangan pengetahuan pun secara tidak langsung akan tergerus seiring berjalannya waktu. Bukan hanya sampai disitu, pemerintah Indonesia juga perlu berbenah terutama dalam bidang alokasi dana penelitian dan birokrasi. Akibat dari birokrasi yang megikat tidak jarang itu menghambat kualitas karya-karya dari para ilmuwan kita, dikarenakan seorang ilmuwan itu nantinya justru akan lebih fokus dalam mengejar proposal pengajuan dana karena tanpa dana penelitian tidak akan berjalan dan kemudian dilanjutkan dalam menyelesaikan laporan pertanggung jawaban, inilah yang kemudian disebut oleh Prof. Heru Nugraha sebagai sindrom formalisme.

Selanjutnya terkait alokasi dana penelitian dan pengembangan yang dirasa masih sangat minim, dalam data yang dihimpun oleh (JawaPos, 2017) pemerintah memberikan anggaran melalui APBN hanya sebesar 0,1 dari PDB. Suatu angka yang sangat kecil jika dibandingkan anggaran penelitian Malaysia yaitu sebesar 1, 25, Singapura 2, 20, dan Vietnam 0,19. Sudah tentu alokasi dana penelitian dan pengembangan perlu ditambah terutama dalam mengikuti arus perkembangan tekonologi informasi di era millennial ini, agar bangsa ini tidak terjebak dalam stagnasi pendidikan, mengingat perlu adanya sokongan dana yang cukup. Bukan hanya itu, pemerintah dengan kebijakannya seharusnya mampu menyederhanakan sistem birokrasi yang ada, sehingga ilmuwan Indonesia dapat menigkatkan kualitas karya-karyanya sekaligus memisahkan fungsi birokrasi dari para ilmuwan kita.

Sebagai bangsa yang besar dan ditakdirkan memiliki sejarah literasi yang kuat juga peninggalan sejarah karya tulis yang memukau. Seharusnya kita sebagai generasi penerus bangsa harus optimis dalam memandang revolusi digital di era millennial terutama dalam memandang masa depan bangsa. Bagaimana School of Thought yang ada di Indonesia telah menunjukkan bahwa kita tidak akan pernah melupakan sejarah yang ada. Ditambah lagi dengan prinsip ideologi Pancasila yang tertanam pada setiap sendi kehidupan yang mengajarkan kita cara bagaimana dalam mempertahankan tradisi bangsa. Jangan sampai kita lalai dalam hal itu, yakni lalai terhadap ketidaksadaran kita akan masalah-masalah diatas yang kemudian menyebabkan merosotnya komitmen kita terhadap semangat dalam menanamkan literasi kepada masyarakat dan meningkatkan gairah penelitian demi mencapai publikasi yang berguna bagi bangsa kita (Arendt, 1992).

Referensi

Arendt, Hannah, 1992, “Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil”, London: Penguin Books.

Fukuyama, Francis, 2000, “The Great Disruption: Human Nature and The Reconstitution of Social Order”, New York: Touchstone book, hlm.3.

Firman, Tony, 2016, “Literasi Indonesia yang belum merdeka”, https://tirto.id/literasi-indonesia-yang-belum-merdeka-bBJS, diakses pada tanggal 17 Maret 2019 pukul 19.50 WIB.

Gerintya, Scholastica, 2017, “Kondisi dunia penelitian di Indonesia”, Tirto, https://tirto.id/kondisi-dunia-penelitian-di-indonesia-cvvj, diakses pada tanggal 17 Maret 2019 pukul 12.50 WIB.

Hermawan, Bayu, 2017, “DPR: Daya literasi Indonesia kalah dengan Malaysia dan Singapura”, Republika. https://republika.co.id/berita/dpr-ri/berita-dpr-ri/17/04/24/oovg1k354-dpr-daya-literasi-indonesia-kalah-dari-malaysia-dan-singapura, diakses pada tanggal 17 Maret 2019 pukul 13.50 WIB.

Huda, Larissa, 2017, “Hardiknas, Pemantau Indonesia catat 7 masalah krusial”, https://nasional.tempo.co/read/871496/hardiknas-pemantau-pendidikan-indonesia-catat-7-masalah-krusial/full&view=ok, diakses pada tanggal 17 Maret 2019 pukul 17.50 WIB.

Makin, Al, 2018, “Bisakah Menjadi Ilmuwan di Indonesia? Keilmuan-Birokrasi dan Globalisasi” ,Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Filsafat.

Moestoko, Somarsono, 1986, “Sejarah Pendidikan dari jaman kejaman”, Jakarta: Balai Pustaka, Hlm. 148.

Nugroho, Heru, 2005, “The Political Economy of Higher Education: The University as an Arena for the Struggle for Power dalam Vedi R. Hadiz & Daniel Dhakidae (Editor) Science and Power in Indonesia”, Singapore: Equinox & ISEAS.

Nugraha, Heru, 2012, “Negara Dan Banalitas Intelektual: Sebuah Refleksi Kritis Dari Dalam”, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Sosiologi.

Pratama, Aswab Nanda, 2018, “Ingat MULO dan HBS? Ini Beberapa Sekolah Umum pada Masa Hindia Belanda” https://edukasi.kompas.com/read/2018/07/06/15225391/ingat-mulo-dan-hbs-ini-beberapa-sekolah-umum-pada-masa-hindia-belanda, diakses pada tanggal 15 Maret 2019 pukul 14.30 WIB.

Siswoyo, Haryono, 2018, “Reorientasi Pengembangan SDM Era-digital pada Revolusi Industri 4.0. Dalam The National Confrence on Management and Business.” Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Syadri, Muhammad, 2017, “Dana Riset Indonesia Paling Buncit”, Jawapos, https://www.jawapos.com/pendidikan/13/05/2017/dana-riset-indonesia-paling-buncit, diakses pada tanggal 15 Maret 2019 pukul 18.30 WIB.

https://investigasi.tempo.co/202/setumpuk-masalah-menjelang-pemilu-2019, diakses pada tanggal 27 Maret2019 pukul 18.30 WIB.

--

--

Wafi Faiz
Wafi Faiz

Written by Wafi Faiz

0 Followers

Deeply love to read political books, philosophy, and social work analyst

No responses yet