Kyai Modjo: Sang Ideolog Perang Diponegoro Yang Diasingkan

Wafi Faiz
5 min readJul 19, 2022

--

Komplek Makam Kyai Modjo dan rombongan yang berjumlah 63 orang (semuanya pria) di Kampung Jaton (Jawa Tondano). Dok. Pribadi

Kyai Modjo lahir dengan nama Muslim Mochammad Khalifah di Surakarta, 1792. Kyai Modjo lahir dari pasangan Iman Abdul Ngarif, adalah seorang ulama terkenal yang dianugerahi tanah perdikan di Desa Baderan dan Modjo, Pajang. Ibunya, Raden Ayu Mursilah, adalah adik perempuan Sultan Hamengku Buwono III dan masih bersaudara sepupu dengan Pangeran Diponegoro. Ia dikenal sebagai penasihat spiritual sekaligus panglima perang Pangeran Diponegoro selama lima tahun lebih (1825–1830). Perang Diponegoro juga dikenal dengan Perang Jawa De Java Oorlog yang menjadi pertempuran besar bagi Belanda di bawah komando Jenderal Hendrick Merkus de Kock. Dampak mengerikan perang ini mengakibatkan 200.000 penduduk pribumi, 8.000 tentara Belanda, serta 7.000 serdadu Belanda tewas.

Meskipun menelan korban yang begitu besar, Perang Diponegoro menjadi salah satu catatan sejarah penting dalam Gerakan perlawanan masyarakat pribumi terhadap kolonialisme dan imperialisme yang terjadi di Tanah Jawa. Salah satu tokoh dan gerilyawan yang memiliki andil besar dalam memobilisasi massa adalah Kyai Modjo. Sebelum memutuskan bergabung dengan pasukan Diponegoro, Kyai Modjo adalah seorang ulama dari desa Modjo yang juga menjadi pengasuh pondok pesantren miliknya. Ia dikenal sebagai orang yang mempelopori gerakan anti-pemurtadan di kalangan bangsawan keraton karena faktor ekonomi politik.

Gerakan anti pemurtadan inilah yang mendapat dukungan dari Diponegoro sampai akhirnya ia bergabung dengan pasukan Diponegoro di Gua Selarong yang memakai taktik gerilya melawan agresi Belanda. Dalam formasi pasukan Diponegoro, Kyai Modjo adalah Jenderal para pasukan pribumi dan pasukan santri yang menegaskan perang perlawanan bukan hanya sekedar pemberontakan terhadap penindasan, ia menyematkan perang itu dengan “Perang Sabil” atau Perang Suci dalam istilah Islam dikenal dengan Jihad Fi Sabilillah. Simbol perlawanan ini yang membuat 88 orang Kyai Desa, 11 orang Syekh, 18 orang Pejabat Urusan Agama (Penghulu, Khatib, Juru Kunci), 15 Guru Ngaji, serta puluhan Ulama dan Santri Perempuan menyatakan bergabung dalam pasukan Diponegoro.

Ada juga makam KH. Hasan Maulani (Eyang Lengkong) Kuningan-Cirebon di komplek Makam Kyai Modjo. Ia turut mengajar bekas pasukan dari Pangeran Diponegoro. Selain itu disebutkan juga jika banyak dari kalangan masyarakat setempat yang juga tertarik berkat caranya berdakwah. Dok. pribadi

Sang Ideolog Perang

Sebagai seorang yang dekat dengan Pangeran Diponegoro, Kyai Modjo pun menjadi orang yang bertanggungjawab atas strategi perang gerilya yang dilakukan pasukan Diponegoro, tak khayal ia pun dijuluki sebagai “tangan kanan” sekaligus sang ahli strategi perang gerilya dari kaum santri. Pada pertangahan tahun 1825 ketika rezim kolonial mengeluarkan kebijakan pembangunan jalur distribusi darat dengan rute Yogyakarta-Magelang ada sebuah protes besar yang dilakukan oleh pasukan Diponegoro karena pembangunan tersebut dapat menggusur makam leluhur keraton.

Peristiwa ini yang kemudian memantik pasukan Diponegoro untuk mengganti patok-patok proyek dengan tombak yang berarti juga simbol perlawanan perang. Memang pada saat itu agama memainkan peran sentimental yang begitu kuat, terutama dalam hal tradisi. Jauh sebelum kolonialisme datang ke Tanah Jawa, agama dan budaya lokal membangun akulturasi, asimilasi, dan sinkretisme atas apa saja budaya dan ajaran agama yang dapat dikompromikan bersama, salah satunya adalah ziarah atau kepercayaan untuk mendoakan dan merawat makam para leluhur. Karena itulah, penggusuran makam para leluhur atas proyek pembangunan menjadi isu bersama yang mampu menyatukan kaum Islam dari Diponegoro untuk membangun perlawanan atas dasar penindasan baik kesejahteraan maupun hak ber-tradisi dan beribadah.

Melalui perlawanan tersebut, Kyai Modjo juga terlibat sebagai guru spiritual Diponegoro yang memberikan nasiha-nasihat keagamaan dan spiritual terhadap aktivitas gerakan Diponegoro dan pasukannya. Di sisi lain, Diponegoro juga mengandalkan Kyai Modjo dalam beberapa peran krusial terutama terkait dengan agama. Sebagai orang yang memiliki spiritualitas tinggi, Kyai Modjo diberi mandat Diponegoro untuk menanamkan keyakinan dan pengetahuan agama Islam kepada pasukannya. Pada titik inilah yang membuat semangat Kyai Modjo berkobar, pasalnya Diponegoro juga menjanjikan kepadanya akan membangun suatu pemerintahan Islam di Tanah Jawa. Menurut Peter Carey seorang Indonesianis dari Inggris mengatakan sangat wajar jika janji itu selalu dipegang oleh Kyai Modjo untuk terus disamping Diponegoro dan tanpa pikir panjang langsung bergabung dengan pasukannya di Goa Selarong.

Semasa hidupnya, Kyai Modjo dikenal sebagai seorang santri kelana yang hidupnya nomaden dengan mobilitas yang tinggi. Hal tersebut bukan tanpa alasan, karena dari kehidupannya itu ia memiliki jaringan yang cukup luas di pusat-pusat keagamaan dan politik di Jawa dan Bali. Kyai Modjo pernah menjadi penghubung antara Keraton Surakarta dan Kerajaan Buleleng di Bali. Meskipun berbeda agama dengan Kerajaan Buleleng, kepercayaan dan rasa saling mendukung sudah terjalin sejak lama terutama pada abad ke 18. Salah satu hasil dari Kerjasama ini adalah perlindungan yang dilakukan Kerajaan Buleleng terhadap para santri yang melarikan diri dari kolonialisme ke Bali, dan terfasilitasi oleh Kerajaan Buleleng sehingga terbentuklah komunitas-komunitas Muslim di Bali bagian Utara. Jaringan inilah yang tidak dimiliki oleh Pangeran Diponegoro sehingga Kyai Modjo pun menjadi target utama dari pihak kolonialisme untuk memotong jalur perlawanan pasukan Diponegoro.

Pada tahun 1830 Kyai Modjo dan 63 pasukannya tertangkap oleh pihak kolonial yang kemudian ditahan di Batavia selama satu tahun. Setelah melewati proses persidangan, pihak kolonial akhirnya memutuskan untuk mengasingkan Kyai Modjo beserta rombongan ke Minahasa, Sulawesi Utara. Rombongannya tiba di Minahasa yang sekarang dikenal dengan daerah Tondano yang kemudian membentuk komunitas muslim dan beranak-pinak di sana. Kampung muslim itulah yang sekarang dikenal dengan nama Jaton (Jawa Tondano).

Mengutip dari Ahmad Baso dalam artikelnya yang berjudul “Kiai Maja, Ahli Strategi dan Perang Gerilya Dari Pesantren” mengungkapkan jika dalam salah satu manuskrip yang ditinggalkan Kyai Modjo tertulis semboyan perlawanannya menghadapi kolonialisme dan imperialisme, yaitu : “Amrih Mashlahate Kawulaning Allah Sedaya Sarta Amrih Karaharjane Negari Lestarine Agami Islam” artinya berjuang untuk kepentingan dan kemaslahatan para hamba Allah semua, untuk kesejahteraan negeri, serta untuk kepentingan kelestarian agama Islam. “Mbah Guru” atau “Kiai Guru” wafat pada 20 Desember 1849 dalam usia 57 tahun di Kampung Jawa Tondano, Sulawesi Utara.

Referensi :

Ahmad Baso, 2017, Kiai Maja, Ahli Strategi dan Perang Gerilya Dari Pesantren, diakses dari https://nu.or.id/tokoh/kiai-maja-ahli-strategi-dan-perang-gerilya-dari-pesantren-fSFWJ

Mujadid, 2020, Kyai Modjo Sang Ideolog Perang Diponegoro, diakses dari https://www.republika.id/posts/10848/kiai-Modjo-sang-ideolog-perang-diponegoro#:~:text=Kiai%20Modjo%20berperan%20sebagai%20guru%20spiritual%20sekaligus%20panglima%20pendukung%20sang%20pangeran.&text=Perang%20Diponegoro%20pada%201825%2D1830,selama%20masa%20penjajahannya%20di%20Nusantara.

Iswara N Aditya, 2017, Pecah Kongsi Pangeran Diponegoro dan Kyai Modjo, https://tirto.id/pecah-kongsi-pangeran-diponegoro-dan-kyai-Modjo-cwyp

--

--

Wafi Faiz
Wafi Faiz

Written by Wafi Faiz

0 Followers

Deeply love to read political books, philosophy, and social work analyst

No responses yet