Evolusi adala sebuah fenomena biologi (National Academy of Sciences). Berbanding terbalik dengan religiusitas bahwa evolusi adalah sebuah kritik atau arahan untuk mengabaikan dogma agama yang telah terpasung lama dalam dasar-dasar kepercayaan manusia (National Academy of Science 1984). Ada suatu jarak antara penerimaan evolusi didalam dunia keilmuan dan penerimaan itu juga berada dalam masyarakat umum.
Itu muncul diantara wellacepted scientifiv theories (heliosentrisme, teori sell, atom theory, plate tectonics), evolusi sendiri ditolak dengan sebuah hal nonscientist (agama atau kepercayaan). Didalam sebuah survey yang dilakukan oleh American Museum of Natural History 1994, memberikan contoh bahwa sebanyak 78% orang dewasa amerika menerima drift continental theory yang merujuk pada kebertahapan secara terus menerus yang akan mengubah posisinya. Artinya mereka percaya bahwa kehidupan seperti halnya anak tangga yang bertahap untuk mencapai puncak, kebertahapan kehidupan lah yang mengantarkan manusia menjadi manusia dalam bentuk sekarang ini (Scoot, 1997).
Sebenarnya ada sebuah variable yang signfikan atau kuat dalam memahami anti-evolutionism yang merujuk pada standard yang mana interpretasi literal terhadap kitab suci mempertimbangkan juga esensi theologi itu sendiri. Mereka seperti Bibel kristen, ultraconservative jews, Al-qur’an yang menjadi objek kajian dalam menentang teori evolusi.
Kepercayaan memiliki kedudukan yang opposisionist terhadap evolusi (antievolutionism). Lalu apa yang menjadi motifasi mereka untuk bertarung dalam pengajaran evolusi yang berimplikasi terhadap agama. Kristian konservatif di amerika contohnya yang memiliki kedalaman literatur tentang kitab suci pun sesungguhnya memiliki ketakutan jika anak mereka nantinya belajar evolusi, mereka akan berhenti untuk mempercayai Tuhan. Tanpa tuhan yang membimbing mereka, mereka akan tumbuh menjadi orang yang buruk. Seperti halnya pendapat dari Henry R Morris, dalam bukunya a prominent creationist berpendapat bahwa “Evolusi adalah pondasi dasar dari komunisme, fasisme, freudianisme, social darwinisme, behaviorism, materialism, atheism, modernism, and neo orthodxy” (Henry 1963, p.24). Maka secara tidak langsung kepercayaan masyarakat Amerika dominan akan tergerus dengan sifat-sifat dari ilmu evolusi ini yang menegasikan Creationism.
Teori evolusi dari Charles Darwin misalnya yang menerangkan bahwa semua makhluk hidup di dunia ini berasal dari satu induk yang sangat sederhana lalu berangsur-angsur mengalami perubahan menuju ke arah yang kompleks dalam proses waktu yang panjang melalui seleksi alam. Teori ini tercantum pada buku Darwin yang berjudul On The Origin of Species by Means of Natural Selection. Darwin telah melakukan penelitian yang panjang di beberapa tempat tetapi setelah itu ia mengemukakan hasilnya hanya dengan memberikan kesimpulan.
Teori Darwin ini menimbulkan kontroversi di kalangan beberapa orang. Pasalnya teorinya menjelaskan bahwa adanya makhluk hidup, semesta, dan seisinya adalah hasil dari evolusi. Dan orang-orang yang menolak teori itu menganggap teori Darwin bertentangan dengan agama yang mana menurut agama, semua makhluk dan komponen semesta lainnya diciptakan oleh Tuhan. Salah satu penentang teori Darwin adalah penulis dari Turki, Harun Yahya. Ia secara terang-terangan menolak teori tersebut dengan berlandaskan ayat-ayat suci Al-Quran.
Apa yang menjadi penyebab Harun Yahya menolak teori tersebut perlu untuk dipermasalahkan. Penolakannya adalah berdasarkan ajaran agama sedangkan teori Darwin adalah suatu teori seleksi ilmiah yang harusnya dijawab secara ilmiah pula. Oleh sebab penolakan Harun Yahya karena alasan agama dan berada di luar jangkauan teori ilmiah, maka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah pula.
Sama halnya dengan manusia yang dapat hidup dimana saja, di air, darat, udara, dan bahkan di luar bumi. Hal ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah karena manusia memerlukan makanan, air, dan oksigen untuk hidup dan sel-sel tubuh kitalah yang memerlukan zat-zat tersebut. Dapat kita lihat dengan peradaban sekarang ini, semua aspek semakin berkembang. Perubahan peradaban tersebut sebenarnya disebabkan oleh ilmu pengetahuan yang terus berkembang.
Dalam konteks agama, debat mengenai benar atau tidaknya teori ini memang sangat terkait dengan keyakinan agama bahwa Tuhan adalah pencipta semua makhluk hidup di dunia ini, sementara teori evolusi menyangkal terjadinya fenomena penciptaan tersebut dan menggantikannya dengan suatu konsep evolusi. Perdebatan antara Bishop Wilberforce dengan Thomas Huxley (yang menamakan dirinya sebagai “bulldog”nya Darwin) tahun 1860 di Oxford merupakan perdebatan sengit yang pertama mengenai teori ini.
Tahun 1860 terjadi perdebatan antara Louis Agassiz (ilmuwan yang dianggap banyak berjasa dalam membangun ilmu pengetahuan Amerika) yang menentang validitas dari argumentasi Darwin dengan Asa Gray yang mencoba menemukan rekonsiliasi antara Darwinisme dengan ajaran agama Kristen. Agassiz meyakini bahwa makhluk hidup (spesies) diciptakan oleh Tuhan dan tidak berubah menjadi spesies lain.
Menurutnya teori Darwin hanya merupakan suatu conjecture atau dugaan belaka, tanpa dukungan fakta, dan adanya tingkatan kemajuan bentuk hidup dari pengamatan fosil dari suatu strata ke strata berikutnya menunjukkan adanya perencanaan dalam penciptaan makhluk hidup dan bukan merupakan perubahan alami akibat adanya tekanan dari lingkungan. Sementara itu Asa Gray berpandangan bahwa teori seleksi alam yang diajukan Darwin merupakan instrumen Tuhan dalam penciptaan. Pandangan Gray ini sendiri sebetulnya bertentangan dengan pandangan Darwin yang tidak mempercayai adanya peran Tuhan dalam pembentukan makhluk hidup.
Beberapa argumentasi lain yang telah dikemukakan para ilmuwan sehingga menolak konsep evolusi Darwin diantaranya adalah dipertanyakan apakah variasi dapat terakumulasi sebagaimana yang dikatakan Darwin. Jangankan di alam, bahkan pada penyilangan buatan, yang merupakan dasar dari argumen Darwin, ada batasan derajat perubahan yang mungkin terjadi.
Selanjutnya banyak yang meragukan apakah usia bumi cukup lama untuk memungkinkan seleksi alam terjadi sehingga menghasilkan demikian beranekanya makhluk hidup. Selain itu beberapa ahli geologi mempertanyakan karena bukti-bukti fosil tidak mendukung gambaran terjadinya evolusi yang bertahap (gradual).
Contoh populer dari evolusi adalah evolusi kuda, yang mengemukakan perubahan bertahap dari makhluk seukuran rubah dengan kaki berjari empat yang hidup 50 juta tahun lalu menjadi kuda masa kini yang lebih besar dengan kaki berjari satu, telah lama diketahui keliru. Bertentangan dengan perubahan secara bertahap, fosil setiap spesies peralihan tampak sama sekali berbeda, tidak berubah dan kemudian menjadi punah. Bentuk-bentuk transisi tidak diketahui.
Selanjutnya tahun 1981 The British Museum mengganti penggambaran hubungan kekerabatan antar makhluk hidup (filogeni)-nya menjadi kladogram yang tidak memberikan indikasi tentang pola evolusi sama sekali. Direktur Museum tersebut, Colin Patterson berujar: “As it turns out, all one can learn about the history of life is learned from systematics, from the groupings one finds in nature. The rest is storytelling of one sort and another”. Baginya cerita tentang asal usul makhluk hidup yang satu dari yang lain (evolusi) adalah dongeng belaka. (Vernon Blackmore dan Andrew Page. 1989. Evolution the great debate).
Dua orang ahli Paleontologi Amerika, Stephen Jay Gould (Professor Harvard University) dan Niles Eldredge membuat suatu model atau teori punctuated equilibrium. Model ini menolak gagasan terjadinya evolusi secara kumulatif dan sedikit demi sedikit, sebaliknya menawarkan konsep yang diskontinyu dan tiba-tiba.
Di dalam masyarakat Amerika sendiri sejak awal abad ke-20 terjadi perlawanan sengit terhadap pengajaran teori evolusi di sekolah-sekolah. Tahun 1924 Komisi pendidikan Carolina utara mengumumkan bahwa mereka tidak akan menggunakan buku-buku pelajaran Biologi yang bertentangan dengan Genesis. Di Tennessee tahun 1925 legislatif, atas upaya para orang tua murid, melarang diajarkannya teori yang menolak penciptaan makhluk hidup oleh Tuhan sebagaimana yang diajarkan oleh Bible. Di Oklahoma juga telah dibuat aturan mengenai teks book (text book bill) yang melarang setiap ‘konsepsi materialistik dari sejarah, yaitu teori evolusi Darwin’. Tahun 1981 Gubernur Arkansas menandatangani Act 590 yang membolehkan pengajaran ‘creation science’ sebagai alternatif dari evolusi, namun Act tersebut digugat oleh “The American Civil Liberties Union” yang menganggap bahwa ‘creation science’ bukan sains, tetapi agama. Gugatan tersebut dikabulkan dalam persidangan.
Saat ini sudah banyak buku ditulis oleh para ilmuwan untuk menentang teori evolusi tersebut, jauh sebelum Harun Yahya menuliskan buku-bukunya. Beberapa diantaranya: Norman Macbeth. (1971. Darwin retried: an appeal to reason), Michael Denton (1985. Evolution: a theory in crisis), Robert Saphiro. (1986. Origins: a sceptics guide to the creation of life on earth), Michael J. Behe. (1996. Darwin’s black box), W.R. Bird. (1991. The origin of species revisited), Elaine Morgan (1994. The scars of evolution), dan lain-lain. Diterjemahkannya buku-buku Harun Yahya boleh jadi merupakan langkah awal untuk meramaikan perdebatan tentang teori evolusi ini, dan kita berharap buku-buku dari penulis lain akan juga dapat dinikmati oleh masyarakat kita, sebagai bagian dari proses pencerdasan (dan bukan pembodohan) masyarakat.
Menurut Taufikurahman dalam blognya, dia berpendapat bahwa Taufikurahman menaruh harapan dalam penyampaian mengenai teori evolusi dalam silabus di sekolah dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi berkenaan dengan pengajaran mengenai teori evolusi perlu ditinjau kembali. Hal ini tidak berarti bahwa teori evolusi Darwin itu dihapuskan sama sekali, akan tetapi pengajarannya tidak boleh dogmatis bahwa itu sebagai sesuatu yang dianggap benar. Perlu ditumbuhkan sikap kritis siswa dalam membahas asal-usul makhluk hidup. Pandangan alternatif yang memberi penjelasan tentang hal tersebut yakni kreasionisme atau adanya “Supreme” atau “Creative Designer” untuk menjelaskan fenomena beranekaragamnya makhluk hidup di dunia ini harus juga disampaikan. kepada siswa secara proporsional.
Dalam Artikel yang berjudul “Ada Bantahan Terhadap Teori Revolusi” yang terbit di Kompas 23 April 2003 diceritakan bahwa ada salah satu dosen Biologi ITB yang menolak teori evolusi Darwin dengan menggunakan tulisan-tulisan Harun Yahya yang lebih banyak menggunakan sumber dalil dibandingkan dengan riset yang ia lakukan sendiri. Salah satu argumen Harun Yahya yang digunakan untuk menolak teori evolusi adalah setiap spesies di Bumi diciptakan sendiri-sendiri, tak ada hubungan kerabat antara berbagai spesies. Pendapat ini sebetulnya sudah dilontarkan semasa Darwin hidup pada abad ke-19. Terutama oleh para ahli Sistematik dan Anatomi.
Lalu Yahya mengatakan dengan ditemukannya ilmu baru, yaitu biokimia dan genetika, terutama tentang gen, kromosom, dan DNA, maka teori evolusi Darwin sudah masuk keranjang sampah. Dapat saya katakan bahwa kedua mata pelajaran yang di masa Darwin belum berkembang itu justru kini jadi memperkuat teori evolusi itu sendiri, dan membantah teori penciptaan khusus yang diajukan kembali oleh Yahya.
Sedangkan dalam “Jurnal Antievolutionism and Creationism in United States” dijelaskan bahwa penolakan terhadap teori evolusi atau yang biasa disenut dengan gerakan antievolutionism pada mulanya adalah gerakan yang bersifat politis untu menggiring opini publik terhadap isu politik tertentu. Namun, belakangan kemudian diketahui bahwa kepentingan yang diusung sebnarnya adalah kepentingan agama dan keyakinan-keyakinan tertentu sehingga muncul term evolusi theistic yang kemudian berkembang menjadi paham baru bernama kreasionisme dengan argumen utama bahwa segala sesuatu adalah kehendak dan kuasa Tuhan, teori ini memiliki kemiripan dengan paham deisme.