Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, budaya adat istiadat, dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri. Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik pemerintahan di Indonesia. Pemerintahan Desa menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemerintahan desa adalah “kegiatan dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintahan Desa dan Pemerintah Kelurahan”(A.W. Widjaja, 1983).
Pemberdayaan sebagai proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan (Sutoro Eko, 2002). Konsep pemberdayaan (masyarakat desa) dapat dipahami juga dengan dua cara pandang. Pertama, pemberdayaan dimaknai dalam konteks menempatkan posisi berdiri sebagai masyarakat. Posisi masyarakat bukanlah obyek penerima manfaat (beneficiaries) yang tergantung pada pemberian dari pihak luar seperti pemerintah, melainkan dalam posisi sebagai subyek (agen atau partisipan yang bertindak) yang berbuat secara mandiri. Berbuat secara mandiri bukan berarti lepas dari tanggungjawab negara.
Pemberian layanan publik (kesehatan, pendidikan, perumahan, transportasi dan seterusnya) kepada masyarakat tentu merupakan tugas (kewajiban) negara secara given. Masyarakat yang mandiri sebagai partisipan berarti terbukanya ruang dan kapasitas mengembangkan potensi-kreasi, mengontrol lingkungan dan sumberdayanya sendiri, menyelesaikan masalah secara mandiri, dan ikut menentukan proses politik di ranah negara.
Masyarakat ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan dan pemerintahan (Sutoro Eko, 2002). Permendagri RI Nomor 7 Tahhun 2007 tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat, dinyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah suatu strategi yang digunakan dalam pembangunan masyarakat sebagai upaya untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Pasal 1 , ayat (8) ).
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang desa juga disebutkan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meskipun ruang lingkup politik desa relatif sangat kecil, tapi itu bukan berarti tidak penting. Justru dari situ pembangunan Negara dimulai lewat politik desa.
Inilah yang coba di terapkan oleh peneliti di Dusun Kalipucang, Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta yang dijadikan sebagai desa binaan bagi Unit Kegiatan Mahasiswa Gama Cendekia UGM. Kalipucang masih berdekatan dengan daerah Kasongan yang terkenal dengan kerajinan keramik yang tempatnya tidak begitu jauh dari kalipucang karena hanya beda padakuhan saja. Hal inilah yang menyebabkan warga Kalipucang juga ikut andil dalam pembuatan keramik, tapi tidak sedikit juga yang bekerja diluar itu baik sebagai petani, buruh, maupun pekerja bangunan dan peternak.
Secara politik desa juga tidak bisa lepas dari suatu arah kebijakan yang di ambil baik oleh Kepala desa, Kepala dukuh/rw, dan Kepala rt. Dari mereka inilah desa bisa dinilai baik buruknya dalam melancarkan kebijakan untuk mensejahterakan masyarakatnya.
Termasuk juga mengatur tata kelola sumber daya yang ada di dalamnya sehingga bisa menciptakan lapangan pekerjaan seperti memanfaatkan sawah sampai membangun home industri. Tak terkecuali Padukuhan Kalipucang yang memiliki lahan cukup luas untuk ukuran padukuhan. Idealnya padukuhan tidak bisa lepas dari seorang yang memimpin di dalamnya atau di sebut Dukuh. Dimana peran Dukuh selain membantu Kepala desa dalam hal kemajuan dan kemakmuran desa juga ikut andil mengelola serta memajukan padukuhan dengan sumber keuangan desa.
Dalam catatan kami ada beberapa kebijakan-kebijakan Dukuh yang terimplementasikan dengan baik seperti halnya pada pengambilan kebijakan di dalam organisasi peternakan sapi, dimana tanah yang dipakai untuk beternak adalah tanah desa dan juga bangunan atau rumah sapi yang ada di dalamnya dibuat dengan uang peternak peternak sapi itu sendiri sehingga tidak dimungkinkan akan terjadi konflik berupa sengketa lahan.
Akan tetapi semua itu bisa diinisiasi oleh Dukuh Kalipucang sehingga konflik lahan tersebut tidak terjadi, termasuk juga peran sentral masyarakatnya yang memiliki kesadaran tinggi akan lingkungan dimana mereka setiap bulannya mengeluarkan iuran untuk membantu upaya konservasi lingkungan tersebut.
Ada juga suatu kebijakan yang progresif tentang ipal komunal yang pernah menjadi Juara 2 Dalam Pemberdayaan kesehatan warga dan lingkungan tingkat nasional. Dimana di Padukuh Kalipucang hanya ada 2 ipal yang berada di RT 01 dan RT 03. Akibat dari adanya ipal komunal tersebut warga dimudahkan dalam mengakses toilet tanpa harus ke sungai.
Tentu juga harus ada pendampingan dari pemerintah agar ipal komunal ini terimplementasikan secara konsisten dan juga tidak kalag penting adalah bekal-bekal pelatihan yang diberikan untuk memanfaatkan air dari ipal komunal yang belum tersentuh untuk dibuat pupuk cair.
Walaupun diberi keleluasaan menentukan arah pembangunan padukuhannya, namun pemerintah tidak boleh membiarkan padukuhan itu berdiri sendiri dan dibiarkan, tetapi pemerintah kabupaten kota juga harus memberikan upayanya dibantu pemerintah provinsi untuk memberi perhatian kepada desa sampai mereka bisa mengelola potensinya sendiri karena hal ini juga untuk kemakmuran masyarakat desa sendiri.