Jika diruntut dari akar definisi, Positivisme erat kaitannya dengan naturalisme yang merupakan buah pemikiran Auguste Comte pada abad ke-19. Auguste Comte sendiri berpendapat bahwa, positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia berdasarkan sains. Oleh karena itu, banyak penganut positivisme meyakini akan perbedaan yang kecil antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena menurut mereka kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan seperti halnya alam.
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, karena semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai sarana dalam memperoleh pengetahuan (Arif, 2008:1).
Auguste Comte
Positivisme muncul pada abad ke 19 yang dimotori oleh sosiolog asal Prancis yakni Auguste Comte. Positivisme sendiri sebagai antitesis dari metafisika yang mana pembuktian kebenarannya masih diragukan, paradigma ini terbukti ampuh dan digunakan banyak ilmuan untuk mengungkap realitas yang sesungguhnya dalam kurun waktu yang cukup lama, tak dipungkiri juga masih terdapat beberapa kelemahan dalam teori ini, diantaranya adalah tidak dapat menjangkau kajian metafisik (Muslih, 2004: 96). Penekanan Comte dalam filsafat positivisme kentara pada hipotesisnya yakni, ilmu pengetahuan tidak bisa melampaui fakta sehingga positivisme benar-benar menolak metafisika dan menerima adanya “das Ding an Sich” atau objek yang tidak bisa diselidiki oleh pengetahuan ilmiah (Hardiman, 2004: 197).
Comte menerangkan dalam karyanya yang berjudul Discour sur lèsprit positif (1984), sebagaimana yang dikutip oleh Koento Wibisono bahwa pengertian “positif” menurut Comte ialah sebagai berikut:
1. “Positif” merupakan lawan dari “khayal” (chimérique), artinya positif adalah hal hal yang bersifat nyata (réel). Pengertian ini melanjutkan bahwa objek filsafat positivisme adalah hal yang dapat dijangkau akal, sedangkan hal hal yang diluar nalar/akal bukan/tidak dapat menjadi kajian dari filsafat positivisme,
2. “Positif” adalah lawan dari sesuatu yang “tidak bermanfaat” (oiseux) artinya positif adalah hal yang bermanfaat (utile). Dari pengertian ini dapat diartikan bahwa tujuan dari pemikiran filsafat positivisme tidak berhenti pada pemenuhan rasa keingintahuan manusia, namun lebih dari itu segala pemikiran yang dilandasi positivisme harus diarahkana kepada kemajuan ilmu pengetahuan untuk manusia.
3. “Positif” sebagai lawan dari “keraguan” (indécision), berarti positif sendiri adalah keyakinan (certitude). Positif diartikan pada hal hal yang sudah pasti.
4. “Positif” sebagai lawan dari “kabur” (vague), maka positif disifati sebagai suatu hal yang jelas atau tepat (précis). Hal tersebut sesuai dengan ajaran filsafat comte yang menyatakan bahwa pemikiran filsafati harus dapat memberikan pemikiran yang jelas dan tepat, baik mengenai hal hal yang nampak atau hal hal yang tak nampak yang sebenarnya dibutuhkan. Hal ini menjadi “antitesa” dari cara berfilsafat lama yang memberikan pedoman yang tidak jelas.
5. “Positif” sebagai lawan “negatif” hal ini digunakan unutk menunjukkan sifat filsafata positivisme yang mengarah pada penataan dan penertiban pola pikir (Wibisono, 1983: 37).
Kritik keras yang dilontarkan oleh Comte melalui filsafat positivisme seakan memberi gambaran akan perkembangan metodologi sistematis yang tumbuh subur pada abad pertengahan yaitu metafisika. Filsafat positivisme sendiri menegasikan metafisika, karena positivisme mendasarkan pengetahuan dengan fakta objektif, sedangkan metafisika tidak dapat membuktikan kebenaran argumentatifnya secara indrawi yakni berupa pengamatan dan percobaan ( Hardiman, 2004: 55).