Kata demi kata hadir dalam bentuk tulisan yang efektif dan komprehensif. Dari mulai kritik, puisi, hingga artikel ilmiah yang dibahasakan menggunakan bahasa yang reflektif dan kemudian akan mencapai puncaknya ketika itu menjadi rujukan bagi setiap orang, terutama untuk menghadirkan kebaikan yang salah satunya melalui objek kesusastraan. Perkembangan kesusastraan memiliki peran yang cukup vital dalam mengetahui peristiwa, fenomena, sekaligus gerakan yang berhubungan dengan sebuah kelompok atau bahkan negara.
Sastra sendiri dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki arti bahasa yang dipakai dalam kitab-kitab, sehingga fungsi dari sastra sendiri tidak lain adalah untuk mencatat sesuatu yang berupa ajaran, etika, hingga kondisi pada zaman tertentu yang kemudian disebut sebagai kesusastraan. Dalam maknanya yang lebih luas, kesusastraan sendiri seakan menjadi sebuah mercusuar yang mampu diarahkan tapi juga sulit dikontrol karena memiliki terminologi yang melekat pada dirinya yaitu tentang adanya kebebasan. Sastra juga biasa menjadi penerjemah dalam sebuah tradisi, teknologi, situasi politik ataupun hal yang berkaitan erat dengan masa lalu serta masa depan.
Yudi latif (2009:3) dalam bukunya Menyemai Karakter Bangsa mengatakan bahwa kata, bahasa, dan sastra merupakan rumah tanda. Disebabkan tidak ada kemungkinan yang mengada di luar tanda, maka sebagai rumah tanda mereka pun menjadi rumah kehidupan. Dalam bentuk ini, sastra diartikan sebagai media dalam upaya perjuangan sekaligus penanaman nilai-nilai moral bangsa. Sehingga latar belakang dari penulisan karya sastra biasanya mencakup: tata cara kehidupan, adat-istiadat, perilaku, upacara, cara berpikir, hingga cara memandang sesuatu yang sekaligus menunjukkan bahwa sastra tidak lekang oleh waktu (Syahrizal, Retno, Andayani, 2013).
Pada tataran sejarah, perkembangan kesusastraan di Indonesia sebenarnya bisa dicermati pada prasasti-prasasti yang ada pada kerajaan-kerajaan terdahulu seperti Kutai Kertanegara, Sriwijaya, Majapahit hingga Demak, dimana kita mampu mengenal nama-nama seperti: Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang menulis kitab Bharatayuda dan Gatotkacasraya, Mpu Darmaja yang membuat karya Smaradhana, dan Negarakertagama yaitu karya popular dari Mpu Prapanca yang menjadi basis rujukan hukum konstitusional Negara Indonesia.
Dan pada abad modern sendiri yang berbarengan dengan zaman kolonialisme dan dilanjutkan zaman post-kolonialisme, negara ini pun melahirkan nama-nama seperti: Hamka, Pramoedya Ananta Toer, Taufik Ismail, W. S. Rendra, Chairil Anwar hingga sastrawan-sastrawan muda seperti: Eka Kurniawan, Ayu Utami, Leila Chudori dan lain sebagainya. Nama-nama diatas sendiri menjadi sebuah representasi dari masyarakat Indonesia terutama bagi kaula muda yang diwakili oleh para mahasiswa, bahwa dunia literasi atau kesusastraan pun menjadi bagian penting dari sikap kita untuk mempertahankan nilai-nilai kebudayaan yang masih ada sekaligus sebagai wujud rasa cinta kita terhadap kebudayaan Negara Indonesia. Dengan mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam kesusastraan sekaligus ikut andil dalam menyebarkan literasi, mahasiswa diharapkan mampu mengubah tataran kehidupan serta meningkatkan rasa cinta terhadap bangsa dan negara bagi semua lapisan masyarakat melalui tradisi dan karya-karya dalam kebudayaan lokal.
Literasi Kesusastraan
Sebuah dimensi dunia seringkali dipengaruhi oleh budaya yang ada pada tempat tersebut. Dimana dimensi akhirnya menciptakan struktur atau tatanan kebudayaan yang bersifat hierarkhis. Berbeda dengan kondisi sosial-politik yang selalu tegang, aspek kebudayaan memiliki sifat yang mudah mencair dengan kebudayaan lain. Seringkali kebudayaan dianggap sebagai sesuatu yang berjalan dengan sendirinya. Padahal suatu kebudayaan akan ada dan berkembang ketika melalui sebuah perjalanan panjang dengan literasi yang kuat.
Aspek literasi sendiri memiliki peranan yang fundamental terutama untuk memasuki kebudayaan dan kondisi sosial-politik pada zaman tersebut melalui pembacaan dan penafsiran yang akurat, termasuk dalam bentuk kesusastraan. Tidak bisa dipungkiri, ketika kita memasuki ranah yang lebih dalam pada dunia kesusastraan kita akan tahu bagaimana rasionalitas akan berperan penting dalam membangun aspek literasi. Rasionalitas inilah yang nantinya akan membedakan bagaimana karya sastra yang reflektif dan karya sastra yang dibuat atas dasar keberpihakan.
Sebagai sebuah karya, sudah tentu kesusastraan memiliki ruang dan kepentingan yang mampu mempengaruhi aspek-aspek didalam sebuah negara. Menurut Bourdieu (1993:64) setidaknya ada tiga ruang yang berhubungan satu sama lain.
Pertama kesusastraan sebagai the field of power atau medan kekuasaan, dimana karya sastra mampu menjadi sebuah perangkat negara yang membantu atas jalannya pemerintahan untuk mempertahankan sebuah negara atau Bourdieu menyebutnya sebagai kekuasaan yang dipertahankan.
Kedua adalah literary field, kesusastraan merupakan dimensi sosial pada bidang estetika dimana penulis atau pengarang biasanya terikat dengan medan literer dalam sebuah ruang yang otonom. Artinya, tidak ada seorangpun yang bisa mengintimidasi tentang keindahan, bentuk, serta genre kesusastraan selain orang-orang yang terlibat dalam dimensi tersebut. Dan yang terakhir adalah the genesis of the producers’ habitus. Dimana kebiasaan dari penulis akan menentukan persepsi tentang kesusastraan itu sendiri.
Pada dasarnya fungsi yang dimunculkan pada aspek kesusastraan memiliki sifat yang elastis, meskipun berasal dari orang yang sama, baik karyanya yang lama atau justru dengan karyanya yang baru (Dhakidae 2015:168). Semuanya seakan-akan seperti kotak pandora dimana kesusastraan bisa berubah menjadi sesuatu yang berguna ketika zaman membutuhkannya dan kotak pandora pun akan terbuka dengan sendirinya tanpa ada campur tangan manusia.
Membaca Zaman Baru
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa situasi zaman telah berubah secara drastis, ditandai dengan motivasi manusia untuk terus memperbarui teknologi sampai kadar yang tidak ada batasnya. Siswoyo (2018:1), menyebutkan bahwa pola kehidupan secara global mengalami perubahan dalam waktu yang cukup singkat yaitu berkisar 30 tahun terakhir. Hal ini disebabkan oleh adanya a new wave of disruption atau yang disebut dengan gelombang besar yang melanda dunia yang lebih dikenal dengan Revolusi Industri 4.0 atau Revolusi Digital. Faktor yang paling penting menurut Siswoyo adalah tentang financial capitalism yang mana situasi bisnis pada era sekarang telah menyingkirkan tataran moral yang berbasiskan kebudayaan.
Seperti kita ketahui, aspek bisnis di semua negara tidak terkecuali Indonesia mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Akan tetapi tingkat kenaikan bisnis ini justru tidak dibarengi dengan tingkat kesejahteraan yang merata sehingga masih ada sebuah kesenjangan antar masyarakat. Kesenjangan yang dialami masyarakat menjadi tantangan bagi negara, bagaimana seharusnya negara mampu hadir dan mengakomodasi masyarakatnya tanpa terkecuali. Jika masalah ini tidak kunjung diselesaikan maka aspek ini bukan tidak mungkin akan memantik perpecahan sehingga menciptakan sebuah mosi ketidakpercayaan tentang apa yang menjadi basis ideologi bangsa terutama pada sila ke lima pancasila, yaitu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam hal ini negara bukan hanya bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakatnya tapi juga menguatkan ideologi negara itu sendiri, agar kepercayaan masyarakat terhadap negara tetap ada dan terjamin. Tanggung jawab dalam merestorasi ideologi bangsa bukan hanya tanggung jawab negara, melainkan masyarakat secara umum termasuk mahasiswa. Mahasiswa menjadi ujung tombak bagi negara untuk menterjemahkan ideologi menjadi sebuah tradisi yang kemudian mampu dengan mudah dipahami oleh masyarakat secara luas, salah satu caranya adalah dengan meramu ideologi Pancasila dan kesusastraan bagi bangsa ini.
Pancasila dalam arti yang luas bukan hanya sebuah ideologi tapi juga sebuah kontrak sosial yang dideklarasikan sebagai pegangan hidup bagi masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Dalam konteks Indonesia sendiri, Pancasila memiliki kecenderungan untuk dikembangkan menjadi sebuah doktrin yang komprehensif, yaitu tentang hubungan Pancasila dengan norma dan nilai, serta Pancasila yang juga dapat dikembangkan sebagai ilmu yang berkaitan dengan interpretasi zaman (Wahyudi, 2006: 97).
Pada aspek kedua yaitu Pancasila sebagai ilmu menjadi hal yang penting untuk didiskusikan mengingat sifat ilmu yang berkembang sekaligus sabagai hal yang problematis. Koentowijoyo (2004) berpendapat bahwa Pancasila adalah filsafat sosial, yang merupakan cara pandang negara terhadap gejala-gejala sosial, kemudian dari filsafat bisa diturunkan menjadi teori sosial. Pancasila sendiri memiliki aspek yang beragam sehingga akan sangat susah untuk diterjemahkan dalam aspek tertentu tanpa melalui kesusastraan. Jika kita merujuk tulisan-tulisan seperti yang ditulis: Ongkhokham, Garin Nugroho, Koentowijoyo, Franz Magnis Suseno, hingga Notonegoro, kita akan bisa membaca sekaligus menganalisis bagaimana fungsi sastra dalam mengilustrasikan Pancasila sebagai ideologi dan kontrak sosial, terlepas dari perdebatan para ilmuwan tersebut.
Tanggungjawab Mahasiswa
Sebagai manusia yang terpelajar sekaligus ujung tombak suatu negara, mahasiswa adalah salah satu aktor yang mampu menarik daya pikat sekaligus sebagai center of knowledge bagi masyarakat secara umum. Terlebih lagi dengan menyikapi zaman yang telah memasuki babak baru, dimana industri dan informasi telah melebur menjadi satu. Bukan hanya melebur menjadi satu sebenarnya, tapi juga sulit untuk melepaskan bayang-bayang industri yang kemudian menjadi tujuan sebagian besar mahasiswa untuk masuk ke tahap selanjutnya. Oleh karena itu, harapan akan munculnya learning society yaitu masyarakat terpelajar sangat dibutuhkan untuk memilah serta memilih jalur-jalur yang akan dipijaknya.
Dalam membentuk masyarakat terpelajar, tentu saja mahasiswa sebagai salah satu kelompok yang mempunyai integritas dan intelektualitas tanpa batas diharapkan juga mampu cepat dan tanggap dalam merespon segala bentuk perubahan sekaligus memberikan jawaban atas persoalan yang muncul akibat kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi pada era disruptive ini. Dan yang menjadi hal terpenting adalah mahasiswa bukan lagi menjadi kelompok konsumen tapi harus mampu berubah menjadi kelompok produsen. Dalam artian mahasiswa harus mampu memproduksi karya tulis yang berbasiskan riset serta tinjauan literer yang komprehensif guna memperkuat upaya dalam menciptakan masyarakat terpelajar atau learning society.
Seperti yang telah dituliskan diatas, masyarakat Indonesia sebenarnya lahir dari nilai-nilai yang luhur, baik nilai budaya maupun politik yang menyertai kehidupan bangsa ini. Akan tetapi pada abad ke 17–20, nilai itu pun perlahan-lahan memudar karena adanya kolonialisasi dalam bentuk fisik, mental, dan akal. Dan pada pertengahan abad 20 sampai sekarang nilai-nilai yang luntur akibat kolonialisasi kemudian direstorasi dan diperkenalkan kembali kepada khalayak umum melalui dunia literasi yang tiada hentinya. Dan salah satu kelompok mahasiswa yang berperan penting dalam merestorasi nilai itu adalah nama-nama seperti Soe Hok Gie, Ahmad Wahib, Ongkhokham dan lain sebagainya.
Mereka merestorasi nilai-nilai luhur bangsa yang salah satunya melalui dimensi kesusastraan. Setidaknya ada empat peranan mahasiswa yang menjadi salah satu aktor guna menyebarkan rasa cinta dalam berbangsa dan bernegara, dan empat peranan itu adalah: mahasiswa sebagai pendobrak nilai-nilai, Sikap mahasiswa dalam era revolusi, berbaurnya politik dan literasi menjadi satu, serta pemantapan peran mahasiswa dalam pembangunan nasional (Tilaar, 2001:365).
Mahasiswa sebagai Pendobrak Nilai-nilai
Pada era kolonialisme, pandangan yang berupa kebangkitan nasional mulai dikembangkan akibat penderitaan yang dialami masyarakat. Pandangan ini dilandasi dari nilai-nilai kemanusiaan yang tidak memperoleh tempat yang layak dalam kehidupan dan kemudian memantik berdirinya gerakan nasional pertama yang dipelopori oleh pelajar dan mahasiswa ditingkat nasional maupun internasional. Nilai-nilai kemanusian ini yang seharusnya dipertahankan mahasiswa terlepas dari kondisi zaman yang telah berubah. Bagaimana kita tidak disibukkan lagi dengan upaya dalam mengangkat senjata, melainkan berupaya untuk menciptakan sruktur masyarakat yang terintegrasi dengan nilai-nilai luhur kebudayaan. Mahasiswa di era sekarang harus mampu menyikapi segalanya melalui apa yang dia baca dan apa yang dia tulis untuk kemudian di sebarkan ke masyarakat umum. Dengan tujuan memperkuat nilai literasi sehingga menciptakan masyarakat yang terpelajar.
Sikap mahasiswa dalam era revolusi
Revolusi disini yang dimaksud bukanlah revolusi secara fisik, melainkan olah pikiran dan olah mental. Pada era disruptive semacam ini, kekuatan intelektual dan mental menjadi sangat berharga karena kita bukan lagi berhadapan dengan musuh nyata melainkan grafik-grafik ekonomi, dan kebijakan-kebijakan politik yang belum berpihak pada kesejahteraan. Revolusi pikiran dan mental dirasa penting untuk menghindari kasus seperti: korupsi, penyalahgunaan wewenang, hingga upaya dalam memonopoli pasar tanpa memandang masyarakat kelas bawah.
Berbaurnya politik dan literasi menjadi satu
Kasus-kasus seperti pembredelan surat kabar, pelarangan dalam berorganisasi, hingga pembubaran dalam diskusi menjadi hal yang tidak pernah berhenti dalam pemberitaan. Karena pada dasarnya jatidiri mahasiswa pun sangat sulit untuk dipisahkan dari hal yang berbau politik hingga budaya berbasiskan literasi. Pada konteks ini, mahasiswa sebagai agent of change dituntut untuk memahami bagaimana arti politik secara general dengan berbasiskan literatur-literatur yang berisi sejarah, kondisi, hingga peluang apa saja guna menciptakan era literature society.
Peran mahasiswa dalam pembangunan nasional
Pada poin terakhir, bukan hanya mahasiswa tapi juga perguruan tinggi diharapkan menjadi basis lembaga akademik yang penuh akan riset-riset, literasi, hingga kajian-kajian tentang kebudayaan untuk membantu negara dalam pengimplementasian pembangunan. Dan para mahasiswa lagi-lagi menjadi subjek yang mampu menggerakkan itu semua menjadi sebuah tradisi yang berkesinambungan. Dengan tujuan menciptakan nilai-nilai yang kental akan pembangunan yang berbasiskan dengan moral, etika, serta kebudayaan lokal.
Penutup
Sebagai sebuah kelompok yang terpelajar, mahasiswa diharapkan mampu dalam menjembatani antara negara dan masyarakatnya. Melalui nilai-nilai kebudayaan yang luhur, sudah semestinya kajian-kajian literatur seperi kesusastraan perlu digaungkan kembali. Nilai-nilai yang terkandung dalam kesusastraan juga bisa dijadikan acuan dalam berperilaku, seperti nilai sosial yang erat kaitannya dengan hubungan antar manusia, nilai psikologis yang berkaitan dengan kejiwaan, nilai religious yang terkait dengan kepercayaan dan keagaman, nilai filosofis sebagai falsafah hidup, nilai moral dalam perilaku manusia serta nilai-nilai lainnya yang kemudian bisa diolah dalam mengimplementasikan fungsi literasi itu sendiri.